Ceramah Prof. Dr. KH. MA. Fuad Hasyim Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat tahun 1990 - Pon Pes Sukamiskin Bandung

22 November 2025
Administrator
Dibaca 22 Kali
Ceramah Prof. Dr. KH. MA. Fuad Hasyim Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat tahun 1990 - Pon Pes Sukamiskin Bandung

Ringkasan Ceramah Prof. Dr. KH. MA. Fuad Hasyim, dalam  Pidato ini disampaikan dalam konteks Konferensi Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat tahun 1990. Tujuan utama pidato ini adalah untuk menjelaskan dan membela keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1926, yaitu melepaskan diri dari politik praktis. Penjelasan ini penting karena keputusan tersebut menuai berbagai tanggapan, pro dan kontra, baik dari dalam maupun luar negeri.

Berikut adalah poin-poin kunci pidato tersebut:

  1. Kembali ke Khittah 1926 adalah Sikap Agamis, Bukan Hanya Politik: Fuad Hasyim menegaskan bahwa keputusan ini bukan sekadar manuver politik, tetapi merupakan sikap keagamaan yang berangkat dari semangat awal berdirinya NU, yaitu mengembalikan peran ulama sebagai pelaku utama amar ma'ruf nahi mungkar.

  2. Menjawab Kritik dan Salah Paham: Dia membantah beberapa kritik dari pengamat asing yang menyebut NU menjadi sekuler, mengkhianati anggotanya, atau hanya menjadi "petualang politik". Menurutnya, kritik ini muncul karena mereka memandang NU dengan "kacamata Barat" yang tidak memahami karakteristik khusus NU.

    • Bukan Penyalur Aspirasi Anggota: NU didirikan bukan untuk menyalurkan aspirasi politik anggotanya, melainkan sebagai wadah para ulama untuk menjalankan kewajiban amar ma'ruf nahi mungkar. Perjuangan NU didasarkan pada perintah Allah, bukan pada suara anggota.

    • Khasnya NU: NU memiliki ciri khas yang unik, dimana organisasi ini "dimiliki" oleh para ulama dan kiai di pesantren, sedangkan pengurus di tingkat pusat hanyalah "jongos" yang melayani dan menjalankan amanat para kiai tersebut.

  3. Sejarah Loyalitas NU pada Negara: Fuad Hasyim menguraikan panjang lebar sejarah peran dan loyalitas NU kepada Republik Indonesia sejak sebelum kemerdekaan (misalnya, Resolusi Jihad 1945), hingga masa-masa sulit seperti pemberontakan DI/TII dan G30S/PKI. Ini untuk menunjukkan bahwa komitmen NU pada negara tidak pernah diragukan, dan keputusan kembali ke khittah adalah bagian dari perjalanan panjang itu.

  4. Penerimaan Pancasila sebagai Konsensus Nasional: Dia menekankan bahwa penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas tunggal) bukanlah hal baru. NU telah lama menerima Pancasila sebagai dasar negara, yang diputuskan oleh para pendiri NU sendiri. Kembali ke khittah adalah konsekuensi logis dari penerimaan asas tunggal ini, karena semua partai politik kini berasaskan sama, yaitu Pancasila.

  5. Reinterpretasi Amar Ma'ruf Nahi Mungkar di Negara Pancasila: Ini adalah bagian inti dari pidatonya. Fuad Hasyim menjelaskan bagaimana amar ma'ruf nahi mungkar harus dilaksanakan dalam konteks negara hukum Pancasila:

    • Bil Yad (dengan tangan/kekuasaan): Dilakukan dengan menjadi bagian dari aparatur negara (seperti Lurah, Camat, ABRI) yang memiliki kewenangan hukum untuk menegakkan yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar.

    • Bil Lisan (dengan lisan): Dilakukan dengan menjadi anggota lembaga legislatif (DPR/MPR) untuk menciptakan undang-undang yang baik.

    • Bil Qalb (dengan hati): Ini adalah tingkat partisipasi minimal bagi warga biasa, yaitu dengan mendukung dan membantu pemerintah dan aparatnya dalam menegakkan hukum dan pembangunan, bukan dengan sikap oposisi.

  6. Peran Baru Ulama: Dengan lepas dari politik praktis, para ulama dan kiai dapat kembali ke peran mulia mereka sebagai pembimbing dan penasihat bagi pemerintah dan masyarakat (al-ulama hukama' 'alal muluk), memberikan saran berbasis ilmu agama untuk kemaslahatan bangsa.

Analisis Gaya dan Karakteristik Pidato

  1. Komunikatif dan Menghibur: Fuad Hasyim menggunakan bahasa yang sangat santai, humoris, dan penuh canda. Dia menyelipkan banyak lelucon, sindiran halus, dan cerita lucu (seperti tentang sandal dan "jualan NU") untuk mencairkan suasana dan membuat penjelasan yang berat menjadi mudah dicerna.

  2. Argumentatif dan Ilmiah: Di balik gaya bahasanya yang santai, pidato ini sangat terstruktur dan argumentatif. Dia membangun argumen dengan merujuk pada sejarah, doktrin agama (amar ma'ruf nahi mungkar), dan logika untuk membantah kritik.

  3. Emosional dan Membangun Semangat: Pidato ini penuh dengan semangat membela organisasi (NU) dan keyakinan agama. Penggunaan ayat Al-Qur'an, syair, dan pujian untuk NU menciptakan ikatan emosional yang kuat dengan audiens.

  4. Sarkastik terhadap Pengkritik: Terkadang gaya bahasanya sarkastik dan tegas terhadap mereka yang tidak memahami atau mengkritik keputusan NU, terutama dari kalangan yang dianggapnya tidak paham seluk-beluk NU.

Kesimpulan

Pidato K.H. Fuad Hasyim ini adalah sebuah upaya sosialisasi dan legitimasi yang sangat efektif untuk kebijakan besar NU pada era 80-90an. Dengan gaya yang khas, dia berhasil menjelaskan sebuah keputusan yang kompleks dan kontroversial menjadi sesuatu yang logis, agamis, dan patriotik. Pidato ini tidak hanya menjelaskan "apa" yang dilakukan NU, tetapi lebih penting lagi, "mengapa" dan "bagaimana" melakukannya dalam konteks Indonesia yang berlandaskan Pancasila.